Pages

Minggu, 21 September 2008

Pendidikan Seumur Hidup

0 komentar
Pakar pendidikan yang juga mantan Menteri pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Fuad Hassan berpendapat, pendidikan dalam arti luas merupakan ikhtiar yang ditempuh melalui tiga pendekatan, yaitu pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan. Ketiga aspek itu berlangsung sepanjang perjalanan hidup manusia.


Demikian Fuad Hassan saat menjadi pembicara kunci pada seminar nasional “Rekonstruksi dan Revitalisasi pendidikan Indonesia Menuju Masyarakat Madani”, di Widya Graha Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jln. Gatot Subroto Jakarta, Kamis (2/9).

Hadir dalam cara itu, pengamat pendidikan Arief Rachman dan Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan LIPI, Dewi Fortuna Anwar.

Menurut Fuad, anggapan bahwa pembiasaan hanya efektif pada masa kanak-kanak jelas keliru karena pada usia dewasa dan lanjut usia pun pembiasaan masih terjadi. Misalnya, melalui kegiatan hobi dalam masa pensiun, kebiasaan makan yang berkenaan dengan pemeliharaan kesehatan, kebiasaan olah raga, dan lainnya yang dibentuk pada masa tua.

Halnya mengenai pembelajaran yang juga meliputi pelatihan, dikatakan Fuad, itu merupakan pendekatan yang terutama mengemuka melalui jalur pendidikan formal.

“Melalui jalur ini, sesuatu program pembelajaran jelas cakupannya dari awal hingga akhir. Pendekatan ini lazim dilaksanakan melalui pendekatan klasikal dan kurikuler dalam sistem persekolahan,” jelasnya.

Selanjutnya, yang sering dilupakan adalah pendidikan dalam arti luas yang meliputi juga peneladanan, yaitu melalui terpaan citra yang memikat untuk ditiru perilakunya atau bahkan menjadi model identifikasi diri bagi pengamatnya.

Dikemukakan Fuad, secara umum dapat dikatakan bahwa teladan dijadikan pedoman berperilaku. Di sisi lain, perilaku yang diamati sebagai teladan juga bisa berpengaruh sebagai penentu pola dan kecenderungan (patern and trend setter). Teladan pun ditemukan melalui sosok yang dianggap memperagakan model peran (role model).

Fuad juga menilai, peneladanan merupakan penjelmaan yang bisa berdampak kuat dalam proses pendidikan, terutama bagi anak-anak dan remaja, serta kaum muda umumnya.

“Pada usia yang masih rentan untuk dibentuk oleh berbagai faktor eksternal ini, peneladanan bisa memengaruhi arah perkembangan para remaja dan kaum muda menuju kedewasaan,” tuturnya.

Di tempat sama, pengamat pendidikan yang lain, Arief Rachman mengungkapkan hal senada. Potret pendidikan yang ada seolah-olah pendidikan itu ada di sekolah. Padahal, lingkungan luar sangat berperan.

Ia menilai, pendidikan memang persyaratan awal. Akan tetapi, jangan direduksi di sekolah, tetapi juga di masyarakat, rumah tangga, dan media.

Berkaitan dengan lokakarya atau workshop yang berlangsung pada Jumat (3/9), Arief menyebutkan, adanya sejumlah usulan. Antara lain, menyangkut visi masyarakat madani, memproses pendidikan di masyarakat, serta apa yang disebut sukses pendidikan, misalnya apakah sebatas dilihat dari produk memenuhi target, atau juga perlu pemahaman menyangkut moral, hak asasi manusia, dan gender

BAB I. PENDIDIKAN

A. PENGERTIAN PENDIDIKAN

Pendidikan merupakan suatu proses berkelanjutan yang mengandungi unsur-unsur pengajaran, latihan, bimbingan dan pimpinan dengan tumpuan khas kepada pemindahan berbagai ilmu, nilai agama dan budaya serta kemahiran yang berguna untuk diaplikasikan oleh individu (pengajar atau pendidik) kepada individu yang memerlukan pendidikan itu.

Justeru, pendidikan itu merujuk kepada manusia sebagai objek utama dalam proses pendidikan. Dalam hal ini, berbagai definisi diberikan berhubung istilah pendidikan. Antara lain :

1. Pandangan pakar pendidikan dari Amerika iaitu John Dewey. John Dewey berpandangan bahwa pendidikan ialah satu proses membentuk kecenderungan asas yang berupa akaliah dan perasaan terhadap alam dan manusia. Lihat Abdul Halim el-Muhammady, Januari 1984. pendidikan Islam Skop Dan Matlamatnya, Jurnal pendidikan, Tahun 1, bil. 1, ABIM, Selangor, hlm.10 dan lihat juga John Dewey, 1910. Democracy and Education, Mac Millan & Co., New York, hlm. 1-2.
2. Prof. Horne, Beliau juga merupakan tokoh pendidik di Amerika. Beliau berpendapat bahwa pendidikan merupakan proses abadi bagi menyesuaikan perkembangan diri manusia yang merangkumi aspek jasmani, alam, akliah, kebebasan dan perasaan manusia terhadap Tuhan sebagaimana yang ternyata dalam akliah, perasaan dan kemahuan manusia. Lihat Hermen Harrel Horne, 1939. The Democratic Philosophy of Education, Mac Millan & Co., New York, hlm. 6. Lihat juga Mook Soon Sang, 1988. pendidikan di Malaysia, Kumpulan Budiman, Kuala Lumpur, hlm. 414.]
3. Herbert Spencer, Beliau merupakan ahli falsafah Inggeris (820-903 M). Beliau berpendapat bahwa pendidikan ialah mempersiapkan manusia supaya dapat hidup dengan ke hidupan yang sempurna. Lihat Herbert Spencer, 1906. Education: Intelectual, Moral and Physical, Wiiliam and Nongete, hlm. 84.

Berdasarkan definisi-definisi itu, dapat difahamkan bahwa pendidikan ialah proses melatih akaliah, jasmaniah dan moral manusia untuk melahirkan warganegara yang baik serta menuju ke arah kesempurnaan bagi mencapai tujuan hidup.

Hassan Langgulung juga merumuskan pengartian pendidikan itu sebagai menambah dan memindahkan nilai kebudayaan kepada individu dalam masyarakat. Proses pemindahan nilai budaya itu ialah, pertama, pemindahan nilai-nilai budaya melalui pengajaran. Ia boleh diartikan sebagai pemindahan pengetahuan atau knowledge. Jadi, apabila seseorang memindahkan pengetahuan tersebut maka berlakulah proses pengajaran. Kedua, proses pendidikan merupakan satu latihan. Ia bermaksud apabila seseorang itu membiasakan diri dalam melakukan pekerjaan

B. PENDIDIKAN FORMAL DAN TIDAK FORMAL

Hakikatnya dapat dimengarti bahwa pendidikan itu didapati melalui proses yang terdapat di dalam sesuatu masyarakat dan individu yang ada didalamnya. Akibat daripada proses tersebut. pendidikan boleh dikategorikan dalam dua bentuk utama iaitu dalam bentuk formal dan bentuk tidak formal.

Pendidikan yang berbentuk formal dikelolakan oleh satu yayasan atau institusi yang berfalsafah, berorganisasi, berstruktur, bermatlamat dan bersistem. Contohnya sekolah atau pusat pengajian pendidikan.

Pendidikan yang tidak formal tidak mempunyai falsafah, organisasi, struktur, matlamat dan sistem yang tertentu. Contohnya ialah didikan dalam sebuah keluarga.

Berdasarkan pengartian pendidikan itu, ia merupakan proses kesinambungan yang dialui oleh manusia dengan cara bimbingan, latihan dan didikan khususnya berkaitan dengan perkembangan intelek, kerohanian, jasmani, sosial dan estetika. Dengan arti kata lain, pendidikan juga dipandang sebagai pewarisan kebudayaan dan pengembangan potensi- potensi pada diri manusia untuk menjadikan dirinya sebagai manusia yang berilmu, berakhlak, sihat, berbudaya, berseni, berguna dan bertanggungjawab.

BAB II. PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP

A. AKTUALITA PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP

Banyak ahli pendidikan di berbagai mancanegara menyadari pendidikan, terutama sekolah (formal), kurang mampu memenuhi tuntutan ke hidupan. Karena itu, dalam pertemuan internasional yang diprakarsai Badan PBB Urusan pendidikan dan Kebudayaan (UNESCO), mereka sepakat soal perlunya pendidikan seumur hidup.

Munculnya istilah ini, dalam dunia pendidikan, banyak menimbulkan dorongan atau pemikiran kritis terhadap pengartian pendidikan yang telah ada. Misalnya, tujuan pendidikan adalah pencapaian ke­dewasaan, sekolahan terutama berjenjang akademik bukanlah satu-satunya sistem pendidikan, dan pendidikan hendaknya lebih menonjolkan sifatnya sebagai self initiative dan self education.

Jalur pendidikan formal memiliki banyak kelemahan jika dibandingkan dengan pendidikan nonformal. Kelemahan pendidikan formal, antara lain, terlalu menekankan pada aspek kognitif pada anak-anak didik. Anak didik seolah-olah hidup terisolasikan selama mengalami dan menjalani pendidikan.

Namun, jangan dimaknai pendidikan di sekolah formal tidak perlu. Dalam kenyataaannya pun jalur pendidikan ini tetap ada, malah semakin banyak bagai jamur di musim hujan. Hal ini disebabkan jalur pendidikan yang terlembagakan (formal), adanya keteraturan tentang perencanaaan dan pelaksanaaan pendidikan, juga memberikan rasa optimis bagi para peminatnya dengan jangka waktu yang relatif pendek.

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan tersebut, dan agar pendidikan seumur hidup dapat benar-benar berada dalam sistem, diperlukan aspek lain, yakni aspek horizontal. Aspek ini bermakna efisiensi pendidikan. Separti sistem persekolahan, ia akan tercapai bila memperhatikan lingkungan, misalnya keluarga, tempat bermain, tempat kerja, atau lingkungan masyarakat secara luas.

]B. PENDIDIKAN DIDUNIA BERKEMBANG

Di negara-negara berkembang, kompleksitas pendidikan bisa kait-mengait antara sistem, kurikulum, dukungan ekonomi, dan lain-lain sehingga sering mengaburkan prinsip, tujuan atau bahkan sistem pendidikan itu sendiri. Sehingga sistem dan tujuan pendidikan sering disalahartikan dan disalahgunakan.

Adanya pendidikan seumur hidup, merupakan sebuah angin segar apabila kita mengamati pada beberapa asas yang melekat (inheren) pada gagasan pendidikan seumur hidup itu sendiri. Separti sistem pendidikan semakin demokratis, pendidikan dapat meningkatkan kualitas hidup, dan pengintegrasian sekolah dengan ke hidupan di lingkungan masyarakat.

Hanya, bisa saja angin segar pendidikan seumur hidup menjadi angin surga alias utopia baru dalam bidang pendidikan, apabila hanya sebatas konsep tanpa implementasi. Konsepsi pendidikan seumur hidup di Indonesia telah beberapa kali tercantum dalam GBHN, tapi implementasinya sering berubah-ubah. Konsep di dalam GBHN masih amat luas pengartiannya, sehingga sering terjadi “keluwesan” menafsirkan yang berbeda.

Misalnya dalam mengambil sikap antara beberapa pengartian pendidikan satu jalur (single track) dan pendidikan multijalur (multitrack). Demikian pula dengan pendidikan yang bersifat akademik ilmiah dan operasional-teknik, maupun antara pendidikan formal dan nonformal.

Asas pendidikan seumur hidup yang mengandung kemungkinan diversifikasi sistem pendidikan, tampaknya konsepsi satu jalur kurang begitu tepat dan efektif. pendidikan satu jalur baru lebih efektif bila wajib belajar lebih tinggi dari yang ada sekarang.

BAB III. PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP DALAM PANDANGAN ISLAM

Jauh sebelum PBB pada tahun 1970-an memprakarsai “pendidikan seumur hidup-PSH” (Lite Long Integrated Education), dalam Islam pada abad ketujuh telah ditegaskan: Uthlub al’ilma min al-mahdi ila al-lahdi (tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat). Sayangnya, kepopuleran ajaran pendidikan seumur hidup dari Rasulullah SAW itu tidak sempat menggugah perhatian kita untuk memprakarsainya menjadi word program.

Dalam GBHN termaktub: “pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan di dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu, pendidikan ialah tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah”. Berarti setiap insan Indonesia dituntut selalu berkembang sepanjang hidupnya. Sementara itu masyarakat dan pemerintah harus menciptakan suasana untuk selalu belajar. Sebab masa sekolah (formal) bukanlah masa “satu-satunya”, tetapi hanya sebagian dari waktu belajar yang berlangsung sepanjang hidup.

A. URGENSI PENDIDIKAN SEUMUR HIDUP

Drs H Fuad Ihsan (1996:44-45) dalam buku Dasar-dasar Kependidikan, menulis beberapa dasar pemikiran –ditinjau dari beberapa aspek– tentang urgensi pendidikan seumur hidup, antara lain: Aspek ideologis, setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan, meningkatkan pengetahuan dan menambah keterampilannya. pendidikan seumur hidup akan membuka jalan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi diri sesuai dengan kebutuhan hidupnya.

Aspek ekonomis, pendidikan merupakan cara yang paling efektif untuk dapat keluar dari “Lingkungan Setan Kemelaratan” akibat kebodohan. pendidikan seumur hidup akan memberi peluang bagi seseorang untuk meningkatkan produktivitas, memelihara dan mengembangkan sumber-sumber yang dimilikinya, hidup di lingkungan yang menyenangkan-sehat, dan memiliki motivasi dalam mendidik anak-anak secara tepat sehingga pendidikan keluarga menjadi penting.

Aspek sosiologis, di negara berkembang banyak orangtua yang kurang menyadari pentingnya pendidikan sekolah bagi anak-anaknya, ada yang putus sekolah bahkan ada yang tidak sekolah sama sekali. pendidikan seumur hidup bagi orang tua merupakan problem solving terhadap fenomena tersebut. Aspek politis, pendidikan kewarganegaraan perlu diberikan kepada seluruh rakyat untuk memahami fungsi pemerintah, DPR, MPR, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tugas pendidikan seumur hidup menjadikan seluruh rakyat menyadari pentingnya hak-hak pada negara demokrasi.

Aspek teknologis, pendidikan seumur hidup sebagai alternatif bagi para sarjana, teknisi dan pemimpin di negara berkembang untuk memperbaharui pengetahuan dan keterampilan seperti dilakukan negara-negara maju. Aspek psikologis dan pedagogis, sejalan dengan makin luas, dalam dan kompleknya ilmu pengetahuan, tidak mungkin lagi dapat diajarkan seluruhnya di sekolah. Tugas pendidikan sekolah hanya mengajarkan kepada peserta didik tentang metode belajar, menanamkan motivasi yang kuat untuk terus-menerus belajar sepanjang hidup, memberikan keterampilan secara cepat dan mengembangkan daya adaptasi. Untuk menerapkan pendidikan seumur hidup perlu diciptakan suasana yang kondusif.

B. TAMBAHAN ILMU

Bila kita melakukan investigasi, maka tak satu doa pun dari doa-doa dalam Alquran dan Alhadits yang berisi “permintaan tambahan”, kecuali dalam hal doa: Rabbi zidni ‘ilman (QS Thaha, 20:114), wa ziyadatan fi al-’ilmi (Alhadits). Dalam hal rezeki, yang diminta bukan tambahan, tetapi barakah: wa barakatan fi ar-rizqi. Dalam hal dunia adalah keselamatan: fi ad-dunya hasanah, bukan lain-lain, demikianlah selanjutnya (baca: Syarqawi Dhafir, Berilmu).
Menambah ilmu setiap saat sangat signifikan bagi ke hidupan manusia. Rasulullah SAW sampai bersumpah: Demi Allah seandainya aku tidak dapat menambah ilmu sehari saja, maka lebih baik aku tidak melihat matahari saat itu. Ini adalah isyarat bila kita menginginkan ke hidupan yang lebih baik maka manhaj-nya adalah dengan menambah ilmu-pengetahuan: Man arada ad-dunya fa’alaihi bi al-’ilmi wa man arada al-akhira fa’alaihi bi al-’ilmi wa man aradahuma fa’alaihi bi al-’ilmi (Alhadits).

Sebagai upaya penyadaran umat untuk rajin menuntut ilmi, maka penulis perlu memaparkan beberapa janji Allah SWT dan pesan Rasul, di antaranya: mengistimewakan mereka dari yang tidak berilmu (QS al-Zumar, 39:9), memberi derajat yang lebih tinggi (QS al-Mujadilah, 58:11), mempermudah jalan menuju surga (HR Muslim), menyamakan kedudukan mereka dengan orang yang berjuang di jalan Allah (HR Turmudzi), memberi keistimewaan yang lebih dari orang yang hanya beribadah, ilmu dijadikan sebagai warisan yang terus menerus memproduksi amal kebajikan yang tak putus karena kematian (HR Muslim).
Dalam meningkatkan ‘ubudiyah kepada Allah harus berlandaskan ilmu (‘ala ilmin) untuk dapat memahami kebesaran dan kekuasaan-Nya: Innama yakhsa Allah min ‘ibadihi al-’ulama. Artinya, sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-Nya hanyalah ulama (QS Fathir, 35:28). Berarti ilmu merupakan pelita-obor yang dapat menerangi jalan menuju Tuhan. Tanpa ilmu, dapat dipastikan ibadah yang kita lakukan nilainya rendah dan boleh jadi tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

C. TERUS BELAJAR

Tidak ada istilah “tua” untuk belajar, never old to leam. Konsekuensi doa yang kita panjatkan harus sejalan dengan amaliyah nyata melalui kegiatan belajar yang terus-menerus. Nabi Muhammad SAW sekalipun telah mencapai puncak, masih tetap juga diperintahkan untuk selalu memohon (berdoa) sambil berusaha untuk mendapatkan ilmu pengetahuan (M Quraish Shihab, 1999:178). Bukankah Allah Ta’ala telah menyatakan: Dan orang-orang yang berjuang di jalan Kami pastilah akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami (QS al-’Ankabut, 29:69).

Siapapun yang punya suatu cita-cita dan ia bersungguh-sungguh berusaha mendapatkannya maka pasti akan ia dapatkan. Siapapun yang terus menerus mengetuk pintu untuk mencapai yang dicita-citakan maka pasti akan terbuka. Apa pun yang kamu inginkan bergabung kepada seberapa besar keinginanmu itu (Az-Zarmuji, 1994:29): Bi qadri ma ta’tani tanalu ma tatamanna.
Walaupun secara formal kita telah menyelesaikan pendidikan tinggi (S1, S2 dan S3) bukan berarti selesailah tugas belajar. Demikian juga seorang guru atau dosen tidak boleh merasa cukup dengan kemampuan yang dimiliki: “masih banyak yang belum kita ketahui”. Bukankah Imam al-Ghazali (1058-1111 M) –penulis buku Ilya ‘Ulum al-Din, dikenal dengan hujjah al-Islam– pernah mengatakan: Kulllama izdada ‘ilmi izdada jahli, setiap kali bertambah ilmuku, bertambah pula kebodohanku.

Orang-orang yang banyak belajar akan semakin membuka mata kepala (‘ain al-bashar) dan mata hati (‘ain al-bashirah) untuk semakin tunduk, patuh dan taat kepada manhaj Rabbani. Untuk itu kita harus banyak membaca, karena membaca sebagai kunci untuk membuka “gudang ilmu-pengetahuan”, yaitu buku.

Dalam Islam, landasan pendidikan seumur hidup terdapat dalam ayat-ayat Alquran dan hadis Rasul, antara lain “Sesungguhnya dalam kejadian langit dan bumi, serta pertukaran malam dan siang, terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi mereka yang mempunyai (mempergunakan) akalnya”. (QS. Ali Imran: 190). Dan pepatah arab “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat”.

Kesadaran akan pentingnya pendidikan seumur hidup menjadi mendalam dengan adanya sejumlah firman Allah SWT dan hadis Nabi Muhammad yang mendasarinya. Persoalannya, tinggal bagaimana menjabarkan dan mengimplementasikannya

KESIMPULAN

ý Fuad Hassan berpendapat, pendidikan dalam arti luas merupakan ikhtiar yang ditempuh melalui tiga pendekatan, yaitu pembiasaan, pembelajaran, dan peneladanan. Ketiga aspek itu berlangsung sepanjang perjalanan hidup manusia.

ý Pendidikan merupakan suatu proses berkelanjutan yang mengandungi unsur-unsur pengajaran, latihan, bimbingan dan pimpinan dengan tumpuan khas kepada pemindahan berbagai ilmu, nilai agama dan budaya serta kemahiran yang berguna untuk diaplikasikan oleh individu (pengajar atau pendidik) kepada individu yang memerlukan pendidikan.

ý Berdasarkan berbagai definisi, dapat difahamkan bahwa pendidikan ialah proses melatih akaliah, jasmaniah dan moral manusia untuk melahirkan warganegara yang baik serta menuju ke arah kesempurnaan bagi mencapai tujuan hidup.

ý Asas pendidikan seumur hidup yang mengandung kemungkinan diversifikasi sistem pendidikan, tampaknya konsepsi satu jalur kurang begitu tepat dan efektif. pendidikan satu jalur baru lebih efektif bila wajib belajar lebih tinggi dari yang ada sekarang.

ý Jauh sebelum PBB pada tahun 1970-an memprakarsai “pendidikan seumur hidup-PSH” (Lite Long Integrated Education), dalam Islam pada abad ketujuh telah ditegaskan: Uthlub al’ilma min al-mahdi ila al-lahdi (tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat)
Continue reading ...

Pendidikan Khusus

0 komentar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Permasalahan

Penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan di Indonesia dari masa ke masa lebih banyak bersifat klasikal-massal, yaitu berorientasi kepada kuantitas untuk dapat melayani sebanyak-banyaknya jumlah siswa.
Kelemahan yang tampak dari penyelenggaran pendidikan seperti ini adalah tidak terakomodasinya kebutuhan individual siswa di luar kelompok siswa normal. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa hakikat pendidikan adalah untuk memungkinkan peserta didik mengembangkan potensi kecerdasan dan bakatnya secara optimal.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 31 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Hal ini baru dapat terpenuhi pada saat Indonesia memasuki pembangunan jangka panjang kesatu tahun 1969/1970 -1993/1994. Dalam periode pembangunan ini pemerintah mulai menaruh perhatian pada pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Upaya merintis program pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa tersebut, telah dimulai sejak tahun 1974 dengan pemberian beasiswa bagi siswa Sekolah Dasa (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berbakat dan berprestasi tinggi tetapi lemah kemampuan ekonomi keluarganya.

Selanjutnya, pada tahun 1982 Balitbang Dikbud membentuk Kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPPAB). Kelompok Kerja ini mewakili unsur-unsur struktural serta unsur-unsur keahlian seperti Balitbang Dikbud, Ditjen Dikdasmen, Ditjen Dikti, Perguruan Tinggi, serta unsur keahlian di bidang sains, matematika, teknologi (elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa, dan humaniora, serta psikologi. Kelompok Kerja tersebut antara lain bertugas untuk:
1. mengembangkan “Rencana Induk Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat” yang meliputi program jangka pendek dan jangka panjang untuk pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi;
2. merencanakan, mengembangkan, menyelenggara-kan/melaksanakan, dan menilai kegiatan-kegiatan sesuai dengan rencana induk pengembangan anak berbakat.

Kemudian, pada tahun 1984 Balitbang Dikbud menyelenggarakan perintisan pelayanan pendidikan anak berbakat dari tingkat SD, SMP, dan SMA di satu daerah perkotaan (Jakarta) dan satu daerah pedesaan (Kabupaten Cianjur). Program pelayanan yang diberikan berupa pengayaan (enrichment) dalam bidang sains (Fisika, Kimia, Biologi, dan Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa), matematika, teknologi (elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa (Inggris dan Indonesia), humaniora, serta keterampilan membaca, menulis, dan meneliti. Pelayanan pendidikan dilakukan di kelas khusus di luar program kelas reguler pada waktu-waktu tertentu. Perintisan pelayanan pendidikan bagi anak berbakat ini pada tahun 1986 dihentikan seiring dengan pergantian pimpinan dan kebijakan di jajaran Depdikbud.

Selanjutnya, pada tahun 1994 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengembangkan program Sekolah Unggul (Schools of Excellence) di seluruh propinsi sebagai langkah awal kembali untuk menyediakan program pelayanan khusus bagi peserta didik dengan cara mengembangkan aneka bakat dan kreativitas yang dimilikinya.

Namun akhirnya, program ini dianggap tidak cukup memberikan dampak positif pada siswa berbakat untuk -mengembangkan potensi intelektualnya yang tinggi. Keluhan yang muncul di lapangan secara bersamaan didukung oleh temuan studi terhadap 20 SMU Unggulan di Indonesia yang menunjukkan 21,75% siswa SMU Unggulan hanya mempunyai kecerdasan umum yang berfungsi pada taraf di bawah rata-rata, sedangkan mereka yang tergolong anak memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa hanya 9,7% (Reni H., dkk., 1998).

Pada tahun 1998/1999, dua sekolah swasta di DKI Jakarta dan satu sekolah swasta di Jawa Barat melakukan ujicoba pelayanan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam bentuk program percepatan belajar (akselerasi), yang mendapat arahan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Pada tahun 2000 program dimaksud dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada Rakernas Depdiknas menjadi program pendidikan nasional. Pada kesempatan tersebut Mendiknas melalui Dirjen Dikdasmen menyampaikan Surat Keputusan (SK) Penetapan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar kepada 11 (sebelas) sekolah yakni 1 (satu) SD, 5 (lima) SLTP dan 5 (lima) SMU di DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kemudian pada tahun pelajaran 2001/2002 diputuskan penetapan kebijakan pendiseminasian program percepatan belajar pada beberapa sekolah di beberapa propinsi di Indonesia.

B. Tujuan

Ada dua tujuan yang mendasari dikembangkannya program percepatan belajar bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa:
1. Tujuan Umum
a. Memenuhi kebutuhan peserta didik yang memiliki karakteristik spesifik dari segi perkembangan kognitif dan afektifnya.
b. Memenuhi Hak Asasi peserta didik yang sesuai dengan kebutuhan pendidikan bagi dirinya sendiri.
c. Memenuhi minat intelektual dan perspektif masa depan peserta didik.
d. Memenuhi kebutuhan aktualisasi diri peserta didik.
e. Menimbang peran peserta didik sebagai aset masyarakat dan kebutuhan masyarakat untuk
pengisian peran.
f. Menyiapkan peserta didik sebagai pemimpin masa depan.
2. Tujuan Khusus
a. Memberikan penghargaan untuk dapat menyelesaikan program pendidikan secara lebih cepat sesuai dengan potensinya.
b. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas proses pembelajaran peserta didik.
c. Mencegah rasa bosan terhadap iklim kelas yang kurang mendukung berkembangnya potensi keunggulan peserta didik secara optimal,
d. Memacu mutu siswa untuk peningkatan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosionalnya secara berimbang.
BAB II
LANDASAN
A. Landasan Yuridis

Kesungguhan pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa secara tegas telah dinyatakan sejak Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1983, yang menyebutkan : “… Demikian pula perhatian khusus perlu diberikan kepada anak-anak yang berbakat istimewa agar mereka dapat mengembangkan kemampuannya secara maksimal”.

Tekad ini berlanjut terus dan dipertahankan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara berikutnya yaitu GBHN Tahun 1988, yang berbunyi: “Anak didik berbakat istimewa perlu mendapat perhatian khusus agar mereka dapat mengembangkan kemampuan sesuai dengan tingkat pertumbuhan pribadinya”; GBHN Tahun 1993 yang menyatakan “Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa perlu mendapat perhatian khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya”; GBHN Tahun 1998 menyebutkan bahwa : “Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya,; Selanjutnya GBHN Tahun 1999 mengamanatkan bahwa: “Melakukan pembaruan kurikulum, berupa difersifikasi kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta difersifikasi jenis pendidikan secara profesional.”

Demikian pula di dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 8 ayat (2) menegaskan bahwa: “Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak mempero/eh perhatian khusus.” Begitu pula dalam Pasal 24 dinyatakan bahwa “setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak-hak sebagai berikut: (1) mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (2) mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri, maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan; (6) menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.

Kesungguhan untuk mengembangkan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa ditekankan pula oleh Presiden Republik Indonesia ketika menerima anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) tanggal 19 Januari 1991, yang menyatakan bahwa: “Agar lebih memperhati-kan pelayanan pendidikan terhadap anak-anak yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan luar biasa.”
Implementasi pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa diatur dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0487/U/1992 untuk Sekolah Dasar, yang dinyatakan dalam pasal 15 :
1. Pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dapat diberikan melaluijalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah.
2. Pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa melalui jalur pendidikan sekolah dapat diberikan dengan menyelenggarakan:
a. Program Percepatan
b. Program Khusus
c. Program Kelas Khusus
d. Program Pendidikan Khusus
3. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan Direktur Jenderal.

Sedangkan untuk tingkat SMP ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor : 054/U/1993, seperti yang disebutkan dalam:
Pasal 15
(1) “Pelayanan pendidikan bagi siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat diberikan melalui jalur pendidikan sekolah, dan jalur pendidikan luar sekolah.”
(2) “Pelayanan pendidikan siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa melalui jalur pendidikan luar sekolah, dapat diberikan dengan menyelenggarakan program khusus dan program kelas khusus.”
Pasal 16
(1) “Siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menyelesaikan program belajar lebih awal dari waktu yang telah ditentukan, dengan ketentuan telah mengikuti pendidikan di SLTP sekurang - kurangnya dua tahun.”
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Demikian juga untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0489/U/1992, seperti dinyatakan dalam:
Pasal 16:
(1) Siswa yang memiliki bakat istimewa dan kecerdasan luar biasa dapat menyelesaikan program belajar lebih awal dari waktu yang ditetapkan dengan ketentuan telah mengikuti pendidikan di SMU sekurang-kurangnya dua tahun.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat(l) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kembali menegaskan bahwa: ” Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus” (pasal 5 ayat 4). Begitu pula dalam pasal 12 ayat 1 dinyatakan bahwa: “setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dariketentuan batas waktu yang ditetapkan”.

Landasan Teoretis
1. Batasan
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggunakan istilah warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Penggunaan istilah potensi kecerdasan dan bakat istimewa ini berkait erat dengan latar belakang teoretis yang digunakan. Potensi Kecerdasan berhubungan dengan kemampuan intelektual, sedangkan bakat tidak hanya terbatas pada kemampuan intelektual, namun juga beberapa jenis kemampuan lainnya seperti yang disebut oleh Gardner dengan teorinya yang dikenal Multiple Intelligences (1983) yaitu, kecerdasan linguistik, kecerdasan musikal, kecerdasan spasial, kecerdasan logikal-matematikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan intrapersonal dan kecerdasan interpersonal.

Pengertian potensi kecerdasan dan bakat istimewc dalam program percepatan belajar ini dibatasi hanya padc kemampuan intelektual umum saja. Ada dua acuar yang bisa digunakan untuk mengukur kemampuar intelektual umum yaitu acuan unidimensional, yang lebir dikenal sebagai batasan yang diberikan oleh Lewis Termar (1922) dan acuan multidimensional, yang disampaikan oler Renzulli, Reis, dan Smith (197*8) dengan Konsepsi Tige Cincin (The Three Ring Conception).

Untuk pendekatan unidimensional, kriteria yanc digunakan hanya semata-mata skor IQ saja. Secarc operasional batasan kemampuan intelektual umum yang digunakan adalah “mereka yang mempunyai skor IQ 14C skala Wechsler. Sedangkan untuk pendekatan multidimensional, kriteria yang digunakan lebih dari satu. Dalam hal ini, batasan yang digunakan adalah “mereka yang memiliki dimensi kemampuan umum pada taraf cerdas (ditetapkan skor IQ 125 ke atas skala Wechsler), dimensi kreativitas cukup (ditetapkan skor CQ dalam nilai baku cukup) dan pengikatan diri terhadap tugas baik (ditetapkan skor TC dalam kategori nilai baku baik).

2. Ciri-Ciri Keberbakatan

Sejak program percepatan belajar dirintis oleh tiga sekolah swasta pada tahun ajaran 1998/1999, hingga saat ini konsepsi keberbakatan yang digunakan berasal dari Renzulli, Reis, dan Smith (1978) yang menyebutkan bahwa keberbakatan menunjuk pada adanya keterkaitan antara tiga kelompok ciri (Kluster) yaitu kemampuan umum, kreativitas, dan tanggung jawab terhadap tugas (task commitment) di atas rata-rata.

Dengan menggunakan konsepsi keberbakatan dari Renzulli, Reis, dan Smith (1978) dan disesuaikan dengan kondisi yang ingin dikembangkan oleh pihak sekolah maka definisi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam Program Percepatan Belajar adalah :
Mereka yang oleh psikolog dan/atau guru diidentifikasi sebagai peserta didik yang telah mencapai prestasi memuaskan, dan memiliki kemampuan intelektual umum yang berfungsi pada taraf cerdas, kreativitas yang memadai, dan keterikatan terhadap tugas yang tergolong balk.
Untuk mendapatkan peserta didik yang tergolong berbakat seperti yang disebutkan dalam definisi di atas, berikut disampaikan 14 ciri-ciri keberbakatan yang telal memiliki korelasi yang signifikan dengan tiga aspel tersebut (Balitbang Depdikbud, 1986):
1. Lancar Berbahasa (mampu mengutarakar pemikirannya);
2. Memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap ilmi pengetahuan;
3. Memiliki kemampuan yang tinggi dalam berpikir logis dan kritis;
4. Mampu belajar/bekerja secara mandiri;
5. Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa);
6. Mempunyai tujuan yang jelas dalam tiap kegiatan atai perbuatannya;
7. Cermat atau teliti dalam mengamati;
8. Memiliki kemampuan memikirkan beberapa macarr pemecahan masalah;
9. Mempunyai minat luas;
10. Mempunyai daya imajinasi yang tinggi;
11. Belajar dengan mudah dan cepat;
12. Mampu mengemukakan dan mempertahankar pendapat;
13. Mampu berkonsentrasi; dan
Tidak memerlukan dorongan (motivasi) dari luar.

C. Landasan Empiris

Melihat ciri-ciri di atas, terkesan seakan-akan siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa hanya memiliki sifat-sifat yang positif. Sebetulnya tidak demikian. Sebagaimana anak pada umumnya, anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa mempunyai kebutuhan pokok akan pengertian, penghargaan, dan perwujudan diri. Apabila kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, mereka akan menderita kecemasan dan keragu-raguan. Jika minat, tujuan, dan cara laku mereka yang berbeda dengan peserta didik pada umumnya, tidak memperoleh pengakuan, maka mereka walaupun memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa akan mengalami kesulitan. Hal ini nyata dari daftar yang disusun oleh Seogoe (dikutip oleh Martinson, 1974) yang menunjukkan bahwa ciri-ciri tertentu dari siswa yang memiliki potensi kecedasan dan bakat istimewa dapat atau mungkin mengakibatkan timbulnya masalah-masalah tertentu, misalnya:
1. Kemampuan berpikir kritis dapat mengarah ke arah sikap meragukan (skeptis), baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain;
2. Kemampuan kreatif dan minat untuk melakukan hal-h yang baru, bisa menyebabkan mereka tidak menyuk atau lekas bosan terhadap tugas-tugas rutin;
3. Perilaku yang ulet dan terarah pada tujuan, dapj menjurus ke keinginan untuk memaksakan ata mempertahankan pendapatnya;
4. Kepekaan yang tinggi, dapat membuat mereka menjac mudah tersinggung atau peka terhadap kritik;
5. Semangat, kesiagaan mental, dan inisiatifnya yanc tinggi, dapat membuat kurang sabar dan kuranc tenggang rasa jika tidak ada kegiatan atau jika kuranc tampak kemajuan dalam kegiatan yang sedang berlangsung;
6. Dengan kemampuan dan minatnya yang beraneka ragam, mereka membutuhkan keluwesan serta dukungan untuk dapat menjajaki dan mengembangkan minatnya;
7. Keinginan mereka untuk mandiri dalam belajar dan bekerja, serta kebutuhannya akan kebebasan, dapat menimbulkan konflik karena tidak mudah menyesuaikan diri atau tunduk terhadap tekanan dari orang tua, sekolah, atau teman-temannya. la juga bisa merasa ditolak atau kurang dimengerti oleh lingkungannya;
8. Sikap acuh tak acuh dan malas, dapat timbul karena pengajaran yang diberikan di sekolah kurang mengundang tantangan baginya.

Selain itu, berdasar penelitian Herry (1993), mereka juga suka mengganggu teman-teman sekitarnya. Hal ini disebabkan karena mereka lebih cepat memahami materi pelajaran yang diterangkan guru di depan kelas dibandingkan teman-temannya. Dengan diterangkan sekali saja, mereka telah dapat menangkap maksudnya, sedangkan siswa yang lain masih perlu dijelaskan lagi; mereka banyak waktu terluang, yang kemudian apabila kurang diantisipasi oleh gurunya, akan digunakan untuk mengadakan aktivitas sekehendaknya (usil), misalnya mencubit atau melemparkan benda-benda kecil/kapur ke teman-teman sekitarnya.

Akibat lebih lanjut, mereka dapat menjadi anak yang berprestasi di bawah potensinya (underachiever) atau bahkan malah mungkin menjadi anak yang bermasalah (mengalami kesulitan belajar). Hal ini nyata dari hasil penelitian Herry, dkk., (1996) terhadap siswa SD di propinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Lampung, dan Kalimantan Barat, yang menunjukkan bahwa 22% dari siswa yang memiliki potensi kecerasan dan bakat istimewa beresiko tinggal kelas (nilai rata-rata rapornya kurang dari 6,00). Demikian pula hasil penelitian Herry, dkk., (1997) terhadap siswa SLTP di empat propinsi yang sama menunjukkan bahwa 20% dari siswa SLTP yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa juga beresiko tinggal kelas. Sementara itu, hasil penelitian Yaumil (1990) di Jakarta terhadap siswa SMA menunjukkan bahwa sekitar 30% dari siswa SMA yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berprestasi di bawah potensinya.

Keadaan di atas tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain. Beberapa penelitian di negara maju, seperti di Amerika Serikat menunjukkan bahwa sekitar 25% dari siswa yang putus sekolah adalah anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Utami Munandar, 1989). Selain itu, Marland (1971) juga mengemukakan bahwa lebih dari separuh anak yang memilki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berprestasi di bawah potensinya disebabkan karena tidak mendapat program pendidikan yang sesuai.

Masalah-masalah di atas dapat terjadi karena mereka belum mendapat pelayanan pendidikan yang memadai secara tidak disadari. Apabila teman-teman sekelas mereka memiliki tingkat kemampuan dan kecerdasan yang relatif sama (homogen), hal di atas tidak akan terjadi. Untuk menghindari sifat-sifat yang kurang baik ini, kita hendaknya berusaha memberikan kepuasan rohaniah untuk dapat dimanfaatkan, yaitu melalui pelayanan pendidikan yang berdiferensiasi (Ward, 1980), yaitu pemberian pengalaman pendidikan yang disesuaikan dengan bakat, minat, kemampuan, dan kecerdasan siswa, agar mereka dapat memanifestasikan potensinya yang masih latent, yakni sebagaimana ciri-ciri mereka seperti yang telah dikemukakan di atas.

D. Landasan Filosofis

Penyelenggaraan pendidikan khusus bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, termasuk di dalamnya program percepatan (akselerasi) belajar didasari filosofi yang berkenaan dengan: (1) hakekat manusia, (2) hakekat pembangunan nasional, (3) tujuan pendidikan, dan (4) usaha untuk mencapai tujuan pendidikan tersebut (Depdikbud, 1994).

Pertama, manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa telah dilengkapi dengan berbagai potensi dan kemampuan. Potensi itu pada dasarnya merupakan anugerah kepada manusia yang semestinya dimanfaatkan dan dikembangkan, serta jangan disia-siakan. Peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, sebagaimana anak pada umumnya, juga mempunyai kebutuhan pokok akan keberadaannya (eksistensinya). Apabila kebutuhan pokoknya tidak terpenuhi, mereka akan menderita kecemasan dan keragu-raguan. Jika potensi mereka tidak dimanfaatkan, mereka walaupun potensial akan mengalami kesulitan (Utami Munandar, 1982).

Di samping memiliki persamaan dalam sifat dan karakteristiknya, potensi tersebut memiliki tingkat dan jenis yang berbeda-beda. Pendidikan dan lingkungan berfungsi untuk mengembangkan potensi tersebut agar menjadi aktual dalam kehidupan, sehingga berguna bagi orang yang bersangkutan, masyarakat, dan bangsanya, serta menjadi bekal untuk menghambakan diri kepada Tuhan. Dengan demikian, usaha untuk mewujudkan anugerah potensi tersebut secara penuh merupakan konsekuensi dari amanah Tuhan.

Kedua, dalam pembangunan nasional, manusia merupakan sentral, yaitu sebagai subyek pembangunan. Untuk dapat memainkan perannya sebagai subyek, maka manusia Indonesia dikembangkan untuk menjadi manusia yang utuh, yang berkembang segenap dimensi potensinya secara wajar, sebagaimana mestinya.

Pelayanan pendidikan yang kurang memperhatikan potensi anak, bukan saja akan merugikan anak itu sendiri, melainkan akan membawa kerugian yang lebih besar bagi perkembangan pendidikan dan percepatan pembangunan di Indonesia (Utami Munandar, dalam Herry, 1991). Hal ini disebabkan karena negara akan kehilangan sejumlah tenaga terampil yang sangat bermanfaat dalam pencapaian tujuan pembangunan secara menyeluruh. Pendidikan nasional mengemban tugas dalam mengembangkan manusia Indonesia sehingga menjadi manusia yang utuh dan sekaligus merupakan sumberdaya pembangunan.

Ketiga, pendidikan nasional berusaha menciptakan ke-seimbangan antara pemerataan kesempatan dan keadilan. Pemerataan kesempatan berarti membuka kesempatan seluas-luasnya kepada semua peserta didik dari semua lapisan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan tanpa dihambat perbedaan jenis kelamin, suku bangsa, dan agama. Akan tetapi, memberikan kesempatan yang sama (equal oppornity) pada akhirnya akan dibatasi oleh kondisi obyektif peserta didik, yaitu kapasitasnya untuk dikembangkan.

Untuk mencapai keunggulan dalam pendidikan, maka diperlukan intensi bukan hanya memberikan kesempatan yang sama, melainkan memberikan perlakuan yang sesuai dengan kondisi obyektif peserta didik. Perlakuan pendidikan yang adil pada akhirnya adalah perlakuan yang didasarkan pada minat, bakat, dan kemampuan serta kecerdasan peserta didik.

Sementara itu, dipandang dari segi demokrasi, sebenarnya setiap anak, apakah ia menonjol, biasa, atau kurang kemampuan dan kecerdasannya, harus diberi kesempatan sepenuhnya untuk mengembangkan dirinya sampai ke batas kemampuan dan kecerdasannya (Terman, 1979). Dengan demikian, justru peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang sampai sekarang kurang mendapat kesempatan untuk mengembangkan kecerdasan dan bakatnya dengan sebaik-baiknya, karena mereka belum menerima pelayanan pendidikan yang sesuai dengan taraf kecerdasan dan bakatnya yang menonjol itu (Andi Hakim Nasoetion, 1982). Di pihak lain, memperlakuan secara sama setiap peserta didik yang berbeda potensi kecerdasan dan bakatnya merupakan ketidakadilan.

Keempat, dalam upaya mengembangkan kemampuan peserta didik, pendidikan berpegang kepada azas keseimbangan dan keselarasan, yaitu: keseimbangan antara kreativitas dan disiplin, keseimbangan antara persaingan (kompetisi) dan kerjasama (kooperatif), keseimbangan antara pengembangan kemampuan berpikir holistik dengan kemampuan berpikir atomistik, dan keseimbangan antara tuntutan dan prakarsa.
BAB III
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

A. Program Pendidikan

Di negara-negara maju, terdapat berbagai jenis program pendidikan untuk siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.\ (Getls dan Dillon, dalam Hallahan dan Kaufman, 1982), antara lain :
1. Sekolah musim panas di negeri dengan empat musim,
2. Pendidikan dasar tidak berjenjang,
3. Diterima lebih awal di perguruan tinggi,
4. Pelajaran-pelajaran perguruan tinggi bagi siswa-siswa setingkat sekolah menengah,
5. Mata-mata pelajaran di sekolah menengah dan kreditnya diakui di perguruan tinggi,
6. Kelas-kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu yang ada dalam kurikulum,
7. Kelas-kelas khusus pada semua mata pelajaran yang ada dalam kurikulum,
8. Seminar-seminar hari Sabtu,
9. Pengelompokan berdasar kemampuan,
10. Pengayaan di kelas-kelas biasa,
11. Guru tamu,
12. Penambahan mata pelajaran,
13. Tugas-tugas kelompok dan tugas-tugas ekstra-kurikuler,
14. Wisata karya,
15. Pelajaran-pelajaran khusus melalui televisi,
16. Program pelajaran biasa setengah hari, dan program pengayaan setengah hari lainnya,
17. Percepatan,
18. Sekolah-sekolah khusus,
19. Program konsultasi,
20. Bimbingan/tutorial,
21. Belajar mandiri,
22. Pertukaran pelajar,
23. Peningkatan yang luwes (misalnya anak SD mengambil pelajaran di SMP, dsb.),
24. Penempatan siswa pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
25. Program pemberian penghargaan,
26. Program kegiatan yang ditawarkan lembaga non-sekolah, seperti museum, perpustakaan, dan
27. Kurikulum khusus.

Dari sekian banyak bentuk program pendidikan yang dapat dipilih, terdapat dua jenis program yang terbanyak dilaksanakan yakni program pengayaan (enrichment) dan program percepatan (acceleration):
(1) Program Pengayaan (Enrichment), yaitu pemberian pelayanan pendidikan sesuai potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang dimiliki siswa, dengan penyediaan kesempatan dan fasilitas belajar tambahan yang bersifat perluasan/pendalaman, setelah yang bersangkutan menyelesaikan tugas-tugas yang diprogramkan untuk siswa lainnya. Program ini cocok untuk siswa yang bertipe “enriched learner”.
Program Percepatan (Acceleration), yaitu pemberian pelayanan pendidikan sesuai potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang dimiliki oleh siswa, dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk dapat menyelesaikan program reguler dalam jangka waktu yang lebih singkat dibanding teman-temannya. Program ini cocok bagi siswa yang bertipe “accelerated learnet”
Buku pedoman ini untuk selanjutnya menitikberatkan pembahasannya kepada pedoman penyelenggaraan program percepatan belajar (akselerasi).

Bentuk Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar
Ditinjau dari bentuk penyelenggaraannya dapat dibedakan menjadi (Clark, 1983):
(1) Kelas Reguler, di mana siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa tetap berada bersama-sama dengan siswa lainnya di kelas regular (model inklusif); Bentuk penyelenggaraan pada kelas reguler dapat dilakukan dengan model sebagai berikut:
a. Kelas reguler dengan kelompok (cluster)
Siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa belajar bersama siswa lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok
khusus.
b. Kelas reguler dengan pull out
Siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa belajar bersama siswa lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu- waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber (ruang khusus) untuk belajar mandiri, belajar kelompok, dan/atau belajar dengan guru pembimbing khusus.
c. Kelas reguler dengan cluster dan pull out
Siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa belajar bersama siswa lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber (ruang khusus) untuk belajar mandiri, belajar kelompok, dan/atau belajar dengan guru pembimbing khusus.
Kelas Khusus, di mana siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa belajar dalam kelas khusus; dan
Sekolah Khusus, di mana semua siswa yang belajar di sekolah ini adalah siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa

C. Lama Belajar
Waktu yang digunakan untuk menyelesaikan program belajar bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa lebih cepat dibandingkan siswa reguler. Pada satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD), dari 6 (enam) tahun dapat dipercepat menjadi 5 (lima) tahun. Sedangkan pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) masing-masing dari 3 (tiga) tahun dapat dipercepat menjadi 2 (dua) tahun.

D. Standar Kualifikasi
Standar kualifikasi yang diharapkan dapat dihasilkan melalui program percepatan belajar adalah peserta didik yang memiliki kualifikasi kemampuan berikut ini:
a. kualifikasi perilaku kognitif: daya tangkap cepat, mudah dan cepat memecahkan masalah, dan kritis;
b. kualifikasi perilaku kreatif: rasa ingin tahu, imajinatif, tertantang, berani ambil risiko;
c. kualifikasi perilaku keterikatan terhadap tugas: tekun, bertanggungjawab, disiplin, kerja keras, keteguhan, dan daya juang;
d. kualifikasi perilaku kecerdasan emosi: pemahaman diri sendiri, pemahaman diri orang lain, pengendalian diri, kemandirian, penyesuaian diri, harkat diri dan
berbudi pekerti;
e. kualifikasi perilaku kecerdasan spiritual: pemahaman apa yang harus dilakukan peserta didik untuk mencapai kebahagiaan bagi diri sendiri dan orang lain.
BAB IV
PERSIAPAN PENYELENGGARAAN PROGRAM

A. Persiapan Penyelenggaraan

Dalam rangka penyelenggaraan program percepatan belajar perlu dilakukan berbagai macam persiapan, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengadakan konsultasi dan komunikasi intensif dengan sekolah-sekolah yang sudah menyelenggarakan lebih dahulu program tersebut, untuk mendapatkan berbagai informasi dan masukan.
2. Membentuk tim kecil program percepatan belajar di sekolah penyelenggara yang terdiri dari kepala sekolah, wakil kepala sekolah, dan guru-guru senior yang memiliki kepedulian dan perhatian untuk memberikan layanan bagi anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa.
3. Memberikan pembekalan dan wawasan tentang program percepatan belajar dengan mengundang nara sumber atau sekolah yang sudah menyelenggarakan program tersebut, yang dihadiri oleh semua unsur tenaga kependidikan di sekolah yang akan terlibat dalam penyelenggaraan program percepatan belajar.
4. Melakukan seleksi terhadap guru-guru yang akan mengajar pada program tersebut untuk mengetahui kompetensi guru
5. Menyusun program kerja.
6. Mengurus perijinan penyelenggaraan program percepatan belajar.

B. Mekanisme Penyelenggaraan

Permohonan ijin penyelenggaraan ujicoba program percepatan belajar dilaksanakan atas ide dari sekolah yang bersangkutan {School Based Management). Tahap-tahap yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Sekolah mengajukan proposal permohonan ijin secara tertulis dilengkapi dengan data dan informasi tentang ketersediaan sumberdaya pendidikan (input siswa, kurikulum, tenaga kependidikan, sarana-prasarana, dana, menajemen sekolah, proses belajar mengajar, dan lingkungan sekolah) sebagai pendukung penyelenggaraan program Percepatan Belajar, kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota (nomor 1).
2. Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota meneliti proposal sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan dalam Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar tahun 2003 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas. Sekolah-sekolah yang memenuhi kriteria, selanjutnya diberikan rekomendasi oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk kemudian diusulkan guna memperoleh Surat Keputusan (SK) sebagai Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar dari Kepala Dinas Pendidikan Propinsi (nomor 2).
3. Selanjutnya, Dinas Pendidikan Propinsi melalui pejabat atau Tim Pengendali Program Percepatan Belajar Propinsi yang telah dibentuk meneliti dan mengevaluasi proposal yang masuk. Apabila hasil penelitian dan evaluasi tersebut memenuhi kriteria, maka kemudian pejabat atau Tim Pengendali Program Percepatan Belajar di Propinsi bersama-sama dengan Pejabat Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota mengadakan observasi dan atau supervisi ke sekolah-sekolah tersebut (nomor3). Hasil observasi dan atau supervisi selanjutnya dianalisis dan dibahas dalam rapat Tim Pengendali Provinsi. Jika memenuhi kriteria, maka Tim Pengendali Provinsi memberikan laporan dan mengusulkan kepada Kepala Dinas Pendidikan Propinsi untuk segera memproses dan menerbitkan Surat Keputusan (SK) Penetapan sebagai Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar.
4. Dinas Pendidikan Propinsi memberikan SK Penetapan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan belajar kepada sekolah-sekolah yang bersangkutan (nomor 4), dengan tembusan SK tersebut kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota.
5. Dinas Pendidikan Propinsi mengirim statistik sekolah penyelenggara program percepatan belajar yang berada di wilayahnya kepada Dirjen Dikdasmen c.q. Direktur PLB dan tembusan Direktur terkait (nomor 5).
6. Untuk upaya pengendalian mutu sekolah penyelenggara program percepatan belajar di Pusat, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah bersama-sama dengan pejabat Dinas Pendidikan Provinsi dan Kabupaten/Kota secara berkala melaksanakan supervisi atau monitoring dan evaluasi ke sekolah-sekolah.
BAB V
PENYELENGGARAAN PROGRAM

A. Identifikasi
Siswa yang diterima sebagai peserta program percepatan belajar adalah siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa sesuai dengan kriteria yang ditetapkan berdasarkan aspek persyaratan, sebagai berikut:
1. Informasi Data Objektif, yang diperoleh dari pihak sekolah berupa skor akademis dan pihak psikolog (yang berwenang) berupa skor hasil pemeriksaan psikologis.
a. Akademis, yang diperoleh dari skor:
(1) Nilai Ujian Nasional dari sekolah sebelumnya, dengan rata-rata 8,0 ke atas baik untuk SMP maupun SMA. Sedangkan untuk SD tidak dipersyaratkan.
(2) Tes Kemampuan Akademis, dengan nilai sekurang-kurangnya 8.0 .
(3) Rapor, nilai rata-rata seluruh mata pelajaran tidak kurang dari 8,0
b. Psikologis, yang diperoleh dari hasil pemeriksaan psikologis yang meliputi tes inteligensi urnurn, tes kreativitas, dan inventori keterikatan pada tugas. Peserta didik yang lulus tes psikologis adalah mereka yang memiliki kemampuan intelektual umum dengan kategori jenius (IQ > 140) atau mereka yang memiliki kemampuan intelektual umum dengan kategori cerdas (IQ > 125) yang ditunjang oleh kreativitas dan keterikatan terhadap tugas dalam kategori di atas rata-rata.
2. Informasi Data Subyektif, yaitu nominasi yang
diperoleh dari diri sendiri {self nomination), teman sebaya {peer nomination), orangtua {parent nomination), dan guru {teacher nomination) sebagai hasil dari pengamatan dari sejumlah ciri-ciri keberbakatan.
3. Kesehatan fisik, yang ditunjukkan dengan surat
keterangan sehat dari dokter.
4. Kesediaan Calon Siswa Percepatan dan Persetujuan Orangtua, yaitu pernyataan tertulis dari pihak penyelenggara program percepatan belajar
untuk siswa dan orangtuanya tentang hak dan kewajiban serta hal-hal yang dianggap perlu dipatuh untuk menjadi peserta program percepatan belajar.

B. Kurikulum
1. Kurikulum program percepatan belajar adalah kurikulurr nasional dan muatan lokal, yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi esensial dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi antara pengembangan spiritual, logika, etika, dan estetika, serta dapat mengembangkan kemampuan berpikir holistik, kreatif, sistemik dan sistematis, linear, dan konvergen, untuk memenuhi tuntutan masa kini dan masa mendatang.
2 Kurikulum program percepatan belajar dikembangkan secara berdiferensiasi, mencakup empat dimensi yang satu bagian dengan yang lainnya tidak dapat dilihat terlepas seperti tersebut berikut ini :
a. Dimensi umum
Bagian kurikulum yang merupakan kurikulum inti yang memberikan keterampilan dasar, pengetahuan, pemaham-an, nilai, dan sikap yang memungkinkan peserta didik berfungsi sesuai dengan tuntutan masyarakat atau tuntutan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kurikulum inti merupakan kurikulum dasar yang diberikan pula kepada peserta didik lain dalam jenjang pendidikan tersebut.
b. Dimensi diferensiasi
Bagian kurikulum yang berkaitan erat dengan ciri khas perkembangan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, yang merupakan program khusus dan pilihan terhadap bidang studi tertentu. Peserta didik memilih bidang studi yang diminatinya untuk diketahui lebih meluas dan mendalam.
c. Dimensi non-akademis
Bagian kurikulum yang memberi kesempatan pada peserta didik untuk belajar di luar kegiatan sekolah formal dengan cara melalui media lain seperti belajar melalui radio, televisi, internet, CD-ROM, wawancara pakar, kunjungan ke musium, dan sebagainya.
d. Dimensi suasana belajar
Pengalaman belajar yang dijabarkan dari lingkungan keluarga dan sekolah. Iklim akademis, sistem pemberian ganjaran dan hukuman, hubungan antarpeserta didik, antara guru dar peserta didik, antara guru dan orangtua-peserte didik, dan antara orangtua dan peserta didik, merupakan unsur-unsur yang menentukan dalarr lingkungan belajar.
3. Kurikulum berdiferensiasi yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dengan cara memberikan pengalaman belajar yang berbeda dalam arti kedalaman, keluasan, percepatan, maupun dalam jenisnya. Jadi perubahan kurikulum itu dapat terwujud dalam berbagai bentuk berikut ini:
a. Perubahan bersifat vertikal, di mana peserta didik diperkenalkan pada isi kurikulum tertentu yang tidak diperoleh teman-temannya di kelas reguler.
b. Perubahan bersifat horisontal, berupa penyajian materi dengan keluasan, kedalaman, dan intensitas yang lebih ditingkatkan dari pada biasanya. Di sini kurikulum disesuaikan dengan tingkat berpikir abstrak yang lebih tinggi,
konseptualisasi lebih meluas, dan peningkatan kreativitas.
c. Pengalaman belajar yang baru, yang tidak ada dalam kurikulum umum, misalnya pada tingkat SMA diberikan pelajaran seperti: Ilmu Kelautan, Metodologi Penelitian, Psikologi Sosial, Ilmu Politik, Ilmu Hukum, dan sebagainya.
d. Pengalaman belajar berdasarkan keterlibatan masyarakat sekelilinqnya {community based
expehental learning}. Di sini kegiatan belajar siswa program percepatan belajar akan
melibatkan dan menguntungkan masyarakat sekelilingnya. Sekolah melakukan kerjasama
dengan ber-bagai lembaga / instansi pemerintah atau swasta yang ada di daerah tersebut.
4. Dalam pelaksanaannya program kegiatan belajar dapat di-lakukan secara tatap muka dengan guru pembina, pakar lain atau belajar sendiri berdasarkan bahan yang diberikan guru pembina atau yang dipilih sendiri, atau berdasarkan modul pemerkayaan.
5. Struktur program (jumlah jam setiap mata pelajaran) sama dengan kelas reguler, hanya perbedaannya terletak pada waktu penyelesaian kurikulum tersebut lebih dipercepat daripada kelas reguler. Percepatan tersebut didasarkan kepada kemampuan siswa dalam memahami isi kurikulum dan mengefektifkan sister pembelajaran dengan mengurangi pembahasa materi-materi yang tidak esensial.
6. Pada program percepatan pendekatan kegiatan pembelajaran diarahkan kepada terwujudnya proses belajar tuntas {mastery learning). Selain itu stratec pembelajaran program percepatan belajar diarahkan untuk dapat memacu siswa aktif dan kreatif sesuai dengan potensi kecerdasan dan bakat masing-masing dengan memperhatikan keselarasan dari keseimbangan antara dimensi tujuan pembelajaran dimensi pengembangan kreativitas dan disiplin, dimensi pengembangan persaingan dan kerjasama, dimensi pengembangan kemampuan holistik dan kemampuan berpikir elaborasi,, dimensi pelatihan berpikir induktif dan deduktif, serta pengembangan iptek dan imtaq secara terpadu.
a. Dimensi Tujuan Pembelajaran
Menghasilkan sosok pribadi siswa yang berkualitas seimbang baik fisik-jasmaniahnya maupun mental-rohaniahnya, baik jiwa dan raganya maupun akal dan semangatnya, maka tujuan tersebut harus dapat di-terjemahkan dalam kegiatan pembelajaran yang me-nyelaraskan aspek-aspek tersebut dalam suatu keterkaitan holistik.
b. Dimensi Pengembangan kreativitas dan disiplin
Kreativitas perlu dikembangkan melalui penciptaan situasi pembelajaran yang kondusif dimana guru mendorong vitalitas keingintahuan siswa untuk mencipta dan memberi fungsi baru terhadap sesuatu yang ada, siswa dilatih untuk menguasai teknik-teknik bertanya sendiri dan diberi kesempatan untuk melakukan berbagai eksperimen. Rangsangan-rangsangan diberikan kepada siswa melalui pertanyaan maupun penugasan sehingga mereka dapat melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang dan dapat menemukan berbagai alternatif pemecahan masalah yang dihadapi. Siswa dituntut belajar disiplin melalui proses belajar yang kondusif dengan penanaman sikap dan kebiasaan menyelesaikan tugas tepat waktu, membuat ringkasan, mencari informasi melalui bacaan, melakukan pengamatan, wawancara, praktikum, eksperimen, dan latihar berorganisasi, serta kepemimpinan.
c. Dimensi Pengembangan Persaingan dan Kerjasama
Dalam kegiatan pembelajaran siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan tugas secara kompetitif, penghargaan diberikan kepada siswa yang berprestasi. Sedangkan- untuk melatih kerja sama siswa diberikan tugas diskusi kelompok, praktikum sosial, latihan berorganisasi dan kepemimpinan.
d. Dimensi Pengembangan Kemampuan Holistik dan Kemampuan Berpikir
Elaborasi.
Kemampuan holistik, sistemik, dan imajinatif dapat di-bentuk melalui kegiatan pembelajaran yang mengarahkan kepada pemecahan masalah atau problem solving, sedangkan untuk kemampuan elaborasi dapat dibentuk melalui kegiatan pembelajaran yang diarahkan kepada pemecahan masalah dengan satu jawaban benar.

e. Dimensi Pelatihan Berpikir Induktif dan Deduktif
Pembelajaran diarahkan pada perolehan pengalaman nyata seperti membuat ringkasan, mencari informasi melalui bacaan, pengamatan, wawancara, menerapkan konsep dalam bentuk latihan, praktikum, eksperimen, berdiskusi, praktikum sosial, latihan berorganisasi dan kepemimpinan. Dari semua itu diharapkan siswa dapat menarik kesimpulan secara induktif. Sedangkan untuk deduktif, kegiatan pembelajaran diarahkan untuk menjabarkan konsep-konsep yang telah dipelajari ke dalam berbagai alternatif pemecahan masalah yang dihadapi.
f. Pengembangan IPTEK dan IMTAQ secara terpadu.
Kegiatan pembelajaran diarahkan kepada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari oleh jiwa keagamaan (ketaqwaan). Dari proses ini siswa diharapkan akan memiliki keseimbangan dan keterpaduan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan iman da taqwa.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut pengembangan kurikulum berdiferensiasi untuk program percepatan belajar dapat dilakukar dengan modifikasi kurikulum nasional dan muatan lokal, yang dapat dilakukan dengan cara berikut:
a. modifikasi alokasi waktu, yang disesuaikan dengan kecepatan belajar bagi siswa yang
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa;
b. Modifikasi isi/materi, dipilih yang esensial;
c. Modifikasi proses pembelajaran, yang menekankan pengembangan proses berpikir
tingkat tinggi (analisis, sintesis, evaluasi, dan pemecahan masalah);
d. Modifikasi sarana-prasarana, yang disesuaikan dengan karakteristik siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yakni senang menemukan sendiri pengetahuan baru;
e. Modifikasi lingkungan belajar, yang memungkinkan siswa yang memiliki potensi kercedasan dan bakat istimewa dapat memenuhi kehausan akan pengetahuan;
f. Modifikasi pengelolaan kelas, yang memungkinkan siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat bekerja di kelas, baik secara mandiri, berpasangan, maupun berkelompok.

C. Guru
Karena siswanya memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa, idealnya gurunya juga memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Namun, untuk mencapai kondisi ideal tersebut nampaknya sulit dicapai. Berkenaan dengan hal itu, guru yang dipilih hendaknya guru yang memiliki kemampuan, sikap, dan keterampilan terbaik di antara guru yang ada (the best of the best). Secara lebih operasional, guru yang dipilih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Memiliki tingkat pendidikan yang dipersyaratkan sesuai dengan jenjang sekolah yang diajarkan, sekurang-kurangnya SI untuk guru SD, SMP, dan SMA.
2. Mengajar sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
3. Memiliki pengalaman mengajar di kelas reguler sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dengan prestasi yang baik.
4. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang karakteristik siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (anak berbakat) secara umum dan program percepatan belajar secara khusus.
5. Memiliki karakteristik umum yang dipersyaratkan antara lain:
a) adil dan tidak memihak
b) sikap kooperatif demokratis
c) fleksibilitas
d) rasa humor
e) menggunakan penghargaan dan pujian.
f) minatyang luas
g) memberi perhatian terhadap masalah anak, dan
h) penampilan dan sikap menarik
6. Memenuhi sebagian besar dari persyaratan sebagai berikut:
a) memiliki pengetahuan tentang sifat dan kebutuhan anak berbakat.
b) memiliki keterampilan dalam mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi.
c) Memiliki pengetahuan tentang kebutuhan afektif dan kognitif anak berbakat

Continue reading ...
 

Blogger news

About

Copyright © Bocah Ndeso.... Design by BTDesigner | Blogger Theme by BTDesigner | Powered by Blogger